Many of people thinking. all of student in Acceleraation class is the best student 's in their school. But that's is a big mistake. Because their is the human too.
Seiring dengan perkembangan sistem pendidikan di Indonesia, banyak institusi pendidikan formal (sekolah) yang ingin meningkatkan kualitasnya. Mereka bersaing untuk dapat mencetak lulusan yang mempunyai nilai ‘lebih’ daripada sekolah lain yang sederajat. Salah satu caranya adalah dengan membuka program pendidikan selain program kelas reguler, yang sering disebut program kelas akselarasi.
Program kelas akselerasi adalah program dimana seorang siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA hanya dalam waktu 2 tahun. Siswa yang dapat mengikuti program ini adalah siswa yang telah diseleksi dengan ketat dan harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan oleh pihak sekolah.
Menurut informasi yang penulis peroleh dari Bapak S, Wakil kepala Sekolah bidang akademik SMA X yang merupakan salah satu sekolah yang melaksanakan program akselerasi, kriteria yang harus dipenuhi jika ingin mengikuti program ini adalah sejarah nilai tes penerimaan siswa yang tinggi, sejarah nilai selama di SMP, IQ minimal 148 dan lulus dari proses assessment yang dilakukan oleh pihak sekolah.
Hal lain yang membedakan siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler adalah siswa yang mengikuti program ini harus dapat menguasai materi yang sama dengan siswa kelas reguler, namun dengan jangka waktu yang sangat sempit. Selain itu, karena siswa di kelas ini dinilai mempunyai daya serap dan kemampuan kognitif yang jauh lebih tinggi daripada teman – temannya di kelas reguler, tidak semua materi diajarkan oleh guru, mereka dituntut untuk dapat mempelajarinya sendiri.
Perbedaan – perbedaan diatas, secara tidak langsung membangun ‘tembok’ tebal dan transparan diantara siswa/i kelas reguler dengan siswa/i akselerasi. Oleh karena itu, tidak aneh jika siswa/i akselerasi seringkali diindentikan sebagai pelajar – pelajar kutu buku yang sebagian besar waktunya habis hanya untuk belajar dan kurang dapat berbaur dengan teman – teman yang seharusnya seangkatan ataupun dengan kakak – kakak kelas yang akan lulus bersama mereka.. Yang akan dibahas pada tulisan ini bukanlah sejarah mengenai program akselerasi, bukan juga mengenai perbedaan antara siswa/i peserta program akselerasi dengan siswa/i di kelas reguler, melainkan apakah yang sebenarnya dirasakan dan dialami oleh siswa/i peserta program ini. Benarkah mereka stres seperti yang dibicarakan orang banyak? Apabila mereka benar mengalami stres, benarkah pelajaran yang padat yang menyebabkan mereka mengalami stres?
Penulis pernah mengadakan sharing singkat dengan siswa/i kelas 1 program akselerasi di SMA X, berikut kutipannya :
Penulis (Pn) : ………kan setelah 2 bulan di kelas reguler baru pindah ke aksel yaa..ada bedanya gak?
A,B,C,D,E,F : Beda bangeeet…
Pn : Letak bedanya disebelah mana?
A : Yaaa..kan dulu waktu di reguler kalo dapet tugas dikumpulinnya minggu depannya..kalo aksel cuma di kasih 2 hari buat ngerjain..terus dapet tugas lain..
B : Iya,,terus kalo di kelas reguler nanya ama guru itu di jawab dengan panjang lebar..tapi kalo kita yang nanya jawabannya : “Masa anak aksel gak ngerti?” kan kita jadi stres digituin..
D : Bener banget, padahal kan kita beneran gak ngerti…emang anak aksel gak boleh gak ngerti..apalagi fisika..
Pn : Hoo..terus kaliannya gimana untuk pelajaran yang gak dimengerti itu?
E : Biasanya belajar bareng – bareng dari buku dan contoh soal, atau tanya ama guru lain yang gak ngajar aksel..
C : Atau.. kan rata – rata dari kita juga les privat, jadi tanya – tanya juga ama guru lesnya.
Pn : Dari semuanya cara apa yang paling sukses?
A : Biasanya siihh..belajar bareng – bareng di kelas minta diajarin sama yang paling pinter di kelas..hehehehe..itu tuuuh si F..
Pn : …………..Kalo masalah tugas gimana? kan tadi bilangnya waktu buat ngerjainnya jadi lebih pendek?
D : Hehehe..awalnya ngeluh siih..tapi kan emang konsekuensi kita yang waktunya emang lebih pendek…
C : Tapi tetep aja kita ngerjainnya mepet – mepet ..abis enakkan main sama nonton DVD..
Pn : Hoo..jadi masih sempet main sama nonton DVD niiih..?
B : Harus disempetin lahhh…apalagi hiburan kita kalo bukan itu..hehe..
Pn : Kan tadi mepet – mepet ngerjain tugasnya, terus hasilnya gimana?
A : Yaaahh pas – pasan..nilainya juga..tapi yaa emang ngerjainnya gak maksimal jadi wajar aja kalo nilainya pas – pasan..
D : Iya, yang penting ngerjain..
Pn : ………..disini semuanya masuk aksel keinginannya siapa?
A,D : Orangtua
B,E : Disuruh Mama
C : Disuruh Ayah
F : Sendiri
Pn : ………buat yang disuruh orangtua, bener – bener 100% karena orang tua atau ada faktor lain siih?
A : Yaaah..75% siih, sisanya campur – campur..kita serba salah, kalo gak masuk aksel kita disuruh pindah sekolah..belum lagi setiap abis ulangan pasti mama nanya..kalo hasilnya jelek dimarahin ..disuruh belajar lagi dan gak boleh nonton DVD..padahal menurut aku nilai 7 tuuh gak jelek..tapi menurut mama jelek..
D : Yaaahh..gini deh..sebenarnya menurut kita pelajarannya gak papa..tapi paling males kalo orang – orang terutama orangtua udah ngomong ‘Masa anak aksel ga bisa….’ atau ‘Jangan bikin malu mama donk..kamu kan anak aksel…masa..’ sebel banget pokokny..terus jadi malah semakin gak konsen negrjain apa – apa…
E : Iyaaa…bener banget..apalagi si F, dia dari SD udah masuk aksel, SMP aksel lagi, makanya di kelas ini dia doank yang masuk aksel karena mau sendiri..udah biasa..hehehe..tapi dia super pinter looh..walaupun umurnya masih 12 tahun…
Pn : …….Jadi, sebenarnya ikut kelas akselerasi enak gak?
B : Ada enak gak enaknya siih..enak karena kita lulus cepet..cuma 2 tahun, tapi gak enaknya kita jadi dianggap selalu ngerti apa yang guru ajarin dan tugas yang dikasih..padahal gak selalu looh..
A : Belum lagi kalo ntar kita turun nilainya dan dibalikin ke reguler, pasti jadi bahan omongan temen sekelas..hiii…mending pindah sekolah deh..
Itu adalah kutipan singkat sharing siswa/i akselerasi SMA X dengan peneliti, memang awalnya mereka agak kaget dan terbebani dengan sistem belajar di kelas tersebut. Guru yang hanya memberikan poin – poin ketika mengajar, kemudian mereka harus belajar sendiri dirumah karena dianggap punya kemempuan untuk itu, selain itu diberikan tugas – tugas yang waktu pengerjaaannya sedikit. Namun jika kita lihat lebih jauh, bukan tuntutan akademis yang membuat mereka tertekan melainkan hal lain.
Siswa/i program kelas akselerasi memang menghadapi tuntutan yang jauh lebih berat dari lingkungan pendidikannya daripada siswa kelas reguler. Tuntutan – tuntutan inilah yang dapat memunculkan academic overload. Academic Overload adalah tuntutan akademis yang melebihi kapasitas (overstimulation) siswa/i sehingga membuat siswa/i tersebut tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut, tuntutan yang muncul dapat berupa persaingan performa akademis dalam kelas dan tuntutan mendapat standar nilai tertentu agar dapat lulus suatu tingkatan. Namun penulis tidak melihat hal ini pada siswa/i tersebut, justru mereka sadar akan konsekuensi sebagai anak akselerasi sehingga wajar bila harus mengeluarkan usaha yang lebih keras.
Lalu, apakah yang membuat mereka stres? Menurut Selye (1974) Stres adalah suatu bentuk respon tubuh yang tidak spesifik terhadap tuntutan/demand , respon tubuh bisa bermacam – macam setiap orangnya, salah satu respon tubuh yang mungkin terjadi ketika sedang stres adalah pusing kepala, jantung berdebar – debar, keringat dingin, dan lain sebagainya. Respon yang lebih spesifik, misalnya mengalami gangguan tidak, baik kelebihan tidur (hipersomnia) maupun sulit untuk jatuh tertidur (insomnia).
Satu lagi definisi mengenai stres yang lebih spesifik adalah menurut Girdano (2005) yang mengatakan bahwa Stres adalah reaksi tubuh terhadap tekanan dari luar yang termanifestasi melalui mental dan fisik, peningkatan tekanan darah, dan ketegangan otot, yang dapat menimbulkan keletihan pada sistem tubuh sampai titik tidak dapat berfungsi lagi dan sakit. Kedua definisi diatas menggambarkan bahwa ketika mengalami stres maka tubuh kitalah yang akan bereaksi pertama kali, bereaksi terhadap apa? Selye mengatakan tuntutan / demand sedangkan Girdano mengatakan tekanan dari luar. Tuntutan atau tekanan dari luar inilah yang sering disebut sebagai stressor, stressor dapat berbentuk apa saja, bisa nyata maupun hanya imajinasi.
Menurut penulis, tuntutan/ demand justru datang dari lingkungan mereka, seperti orangtua yang ‘mendikte’ apa yang harus dilakukan si anak tanpa melihat apakah anak tersebut benar – benar ingin dikondisikan seperti itu. Perilaku yang ditunjukkan oleh guru kepada mereka mungkin sebenarnya untuk memacu mereka agar belajar lebih keras dan tidak tergantung pada guru, namun hal itu justru membuat mereka merasa tertekan dan tidak didukung oleh guru mereka sendiri. Hal lain yang juga dapat menjadi sumber stres adalah ketakutan mereka akan komentar yang dilontarkan teman – teman, staf pengajar dan orangtuan apabila performa mereka tidak maksimal.
Dalam prosesnya, walaupun siswa kelas akselerasi adalah siswa – siswa yang ‘terpilih’, namun tidak semua mempunyai kemampuan beradaptasi yang cepat, selain karena faktor usia yang belum cukup matang, tuntutan yang harus dipenuhi pun dirasakan terlalu berat bagi mereka, terutama tuntutan lingkungan. Lalu, apakah yang dapat mereka lakukan untuk mengurangi stres ini atau yang lebih dikenal dengan coping strategies. Coping Strategies adalah cara yang seseorang lakukan untuk dapat memenuhi demand yang dialami sehingga stres dapat dikleola dengan baik. Dari sharing tersebut, penulis melihat bahwa strategi coping yang dilakukan oleh mereka sudah cukup bervariasi. Strategi pertama adalah mencari dukungan dari teman – teman yang berada dilingkungan yang sama, terlihat dari mereka yang belajar bersama dan selalu saling mendukung satu sama lain, hal ini akan sangat membantu seseorang untuk mengurangi stres yang dialami. Startegi lain yang dilakukan adalah dengan menyempatkan diri untuk bermain dan menonton DVD, hal ini merupakan hiburan bagi mereka karena dengan begitu otak tidak terus – menerus dipaksa untuk bekerja keras. Namun ada hal lain yang perlu diperbaiki, yaitu pengaturan waktu (time management) walaupun mereka ingin menyisihkan waktu untuk bermain dan nonton DVD, namun cara mereka kurang tepat dalam pendistribusian waktunya. Mereka belum sadar bahwa di kejar deadline, bekerja dan belajar sampai dengan larut malam bahkan sampai pagi akan menimbulkan stres baru bagi tubuh. Oleh karena itu, hal ini harus disiasati dengan pengaturan waktu yang lebih baik. Yang terakhir adalah, orangtua dan staf pengajar mungki harus lebih memperhatikan kondisi sebenarnya dari anak – anak tersebut, jangan terlalu memaksakan apa yang sebenarnya mereka tidak inginkan, karena hal ini justru akan menurunkan semangat dan performa mereka di kelas. Yang dapat dilakukan adalah berdiskusi bersama untuk rencana – rencana ke depan dan mencari win – win solution bagi kedua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar